Shahabat
mengerjakan hal-hal mukhdats (baru), sebagai wujud adanya bid'ah hasanah.
بسم
الله الرحمن الرحيم
Banyak Hadits yang meriwayatkan bahwa para sahabat Nabi
SAW melakukan hal baru dalam hal ubudiyah, muamalah dan sebagainya, dan
tentunya tetap berlandaskan dalil syari’at serta tidak menyalahi
pokok-pokoknya, sebagaimana itu adalah landasan dalam memandang bid’ah
hasanah.J bid'ah jhasanah hakikatnya sunnah juga, yaitu mengacu kepada dalil
yang umum atau mengacu ketetapan kebolehan muamalah sampai ada
dalil yang melarangnya. Jika hendak dipaksakan pendapat semua bid'ah adalah
sesat, diletakkan dimanakah perbuatan-perbuatan sahabat tersebut ?
Lalu bagaimana Rasulullah SAW menanggapi
masalah hal tersebut? Perhatikanlah riwayat-riwayat berikut:
1. Hadits riwayat Imam
al-Bukhari dalam shahihnya[1] yang menerangkan bahwa Rifa’ah bin Rafi’ az-Zuraqi
berkata: “Pada suatu hari aku shalat dibelakang Rasulullah SAW Ketika
berdiri (I’tidal) sesudah ruku’, beliau SAW
mengucapkan ‘Sami’allahu liman hamidah’. Salah seorang yang ma’mum
menyusul ucapan beliau itu dengan berdo’a: ‘Rabbana lakal hamdu hamdan
katsiiran thayyiban mubarakan fiihi’ (Ya Tuhan kami, puji syukur
sebanyak-banyaknya dan sebaik-baiknya atas limpahan keberkahan-Mu). Setelah
shalat Rasulullah SAW. bertanya: ‘Siapa tadi yang berdo’a?’.
Orang yang bersangkutan menjawab: ‘saya, ya Rasulallah.’
Rasulullah SAW. berkata : ‘Aku melihat lebih dari 30 malaikatberebutingin
mencatat do’a itu lebih
dulu’.“
.Dalam kitab Fathul Bari, Ibnu Hajar al-Asqalani
mengatakan[2]: “Hadits ini a
dalah dalil bolehnya membaca suatu dzikir -dalam shalat-
yang tidak dicontohkan oleh Nabi SAW (ghair ma’tsur), asalkan dzikir tersebut
tidak bertolak belakang atau bertentangan dengan dzikir yang
ma’tsur (dicontohkan langsung oleh Nabi Muhammad SAW). Disamping itu,
Hadits tersebut mengisyaratkan bolehnya mengeraskan suara (bagi makmum) selama tidak
mengganggu orang yang ada
didekatnya.”. .
Ibnu Hajar juga berkata bahwa Hadits tersebut
menunjukkan juga diperbolehkannya orang berdo’a atau berdzikir diwaktu shalat
selain dari yang sudah biasa, asalkan maknanya tidak berlawanan dengan
kebiasaan yang telah ditentukan (diwajibkan). Hadits ini juga memperbolehkan
orang mengeraskan suara diwaktu shalat selama tidak menimbulkan
keberisikan. .
Lihat pula kitab Itqan Ash-Shan’ah Fi
Tahqiq al-Bid’ah untuk mengetahui makna al-bid’ah karangan Imam
Muhaddis Abdullah bin Shiddiq Al-Ghimari untuk mengetahui makna Al-bid’ah.
2. Hadits Shahih riwayat
al-Bukhari mengenai perbuatan Bilal dan Khabbab, dimana mereka shalat dua
rakaat sebagai pernyataan sabar (bela sungkawa) disaat menghadapi orang muslim
yang mati terbunuh.[3]
. Dengan Hadits ini kita
mengetahui bahwa Bilal dan Khabbab RA telah menetapkan waktu-waktu ibadah atas
dasar prakarsanya sendiri-sendiri. Rasulullah SAW tidak memerintahkan hal itu
dan tidak pula melakukannya, Rasulullah SAW hanya secara umum menganjurkan
supaya kaum muslimin banyak beribadah. Sekalipun demikian beliau tidak melarang
bahkan membenarkan prakarsa dua orang sahabat itu.
3. Hadits riwayat
Abu Hurairah, bahwa Rasulullah SAW. bertanya pada Bilal RA seusai shalat
Shubuh: “Hai Bilal, katakanlah padaku apa amal yang telah engkau perbuat,
sebab aku mendengar suara terompahmu didalam surga’. Bilal menjawab: “Bagiku
amal yang paling kuharapkan ialah aku selalu suci tiap waktu (yakni selalu
dalam keadaan berwudhu) siang-malam sebagaimana aku menunaikan shalat “.[4]
. Dalam Hadits
lain yang diketengahkan oleh at-Tirmidzi dan disebutnya sebagai Hadits hasan
dan shahih, demikian juga dishahihkan oleh al-Hakim dan adz-Dzahabi, yaitu
bahwa Rasulullah SAW meridhai prakarsa Bilal yang tidak pernah meninggalkan
shalat dua rakaat setelah adzan dan pada tiap saat wudhu’nya batal, dia segera
mengambil air wudhu dan shalat dua raka’at demi karena Allah SWT. al-Hafizh
Ibnu Hajar kemudian menjelaskan: Dari Hadits tersebut dapat diperoleh
pengertian, bahwa ijtihad menetapkanwaktu ibadah diperbolehkan.
Apa yang dikatakan oleh Bilal kepada Rasulullah SAW.adalah hasil istinbath (ijtihad)-nya
sendiri dan ternyata dibenarkan oleh beliau.[5]
4. Hadits
riwayat Anas bin Malik RA: Seseorang dengan terengah-engah masuk kedalam
barisan (shaf) shalat. Kemudian dia mengatakan (dalam
shalatnya) Alhamdulillah hamdan katsiran thayyiban mubarakan
fihi (segala puji hanya bagi Allah dengan pujian yang banyak, bagus dan
penuh berkah). Setelah Rasulullah SAW. selesai dari shalatnya, beliau bersabda
: ‘Siapakah diantara kalian yang mengatakan beberapa kalimat?’ Orang-orang
diam. Lalu beliau SAW bertanya lagi: ‘Siapakah diantara kalian yang
mengatakannya? Sesungguhnya dia tidak mengatakan sesuatu yang
percuma’. Orang yang datang tadi berkata: ‘Aku datang sambil terengah-engah
(kelelahan) sehingga aku mengatakannya’. Maka Rasulullah SAW.
bersabda: ‘Sungguh aku melihat dua belas malaikat berebut memburunya untuk
mengangkatkannya (membawa amalan itu kepada Allah).[6]
5. Dalam Kitabut-Tauhid, al-Bukhari
mengetengahkan sebuah Hadits dari ‘Aisyah RA yang mengatakan: “Pada suatu
saat Rasulullah SAW menugaskan seseorang untuk memimpin suatu rombongan ke
suatu daerah untuk menangkal serangan kaum musyrikin. Tiap mengimami shalat
berjama’ah, setelah surah al-Fatihah, ia selalu membaca surah Al-Ikhlas.
Setelah mereka pulang ke Madinah, seorang dari mereka memberitahukan hal itu
kepada Rasulullah SAW. Beliau SAW menjawab: ‘Tanyakanlah padanya apa yang
dimaksud’. Setelah ditanya maka Sahabat pemimpin itupun menjelaskan:
“Karena surah sl-Ikhlas itu menerangkan sifat ar-Rahman dan aku suka sekali
membacanya” Ketika jawaban itu disampaikan kepada Rasulullah SAW maka
beliau berkata: “Sampaikan kepadanya bahwa Allah
menyukainya.”
. Apa yang dilakukan oleh orang
tadi (mengulang surah al-Ikhlash dalam tiap shalat) tidak pernah dilakukan dan
diperintahkan oleh Rasulullah SAW, itu hanya inisiatif orang itu sendiri. Namun
Rasulullah SAW tidak mempersalahkan dan tidak pula mencelanya, bahkan memuji
dan meridhoinya dengan ucapan “Allah menyukainya”.
6. Riwayat al-Bukhari
dalam Kitabus Sholah (Hadits serupa dengan yang diatas) dari
Anas bin Malik menceriterakan bahwa ada beberapa orang shalat di masjid Quba.
Setelah membaca surah al-Fatihah dan satu surah yang lain, sang imam menambah
dengan surah al-Ikhlas. Hal itu dilakukan setiap rakaat. Setelah shalat, para
makmum menegurnya: "Kenapa Anda setelah membaca Fatihah dan surah lainnya
selalu menambah dengan surah al-Ikhlas? Anda, kan, bisa memilih surah yang lain
dan meninggalkan surah al-Ikhlas atau membaca surah al-Ikhlas tanpa membaca
surah yang lain.” Imam tersebut menjawab: “Tidak, saya tidak mau meninggalkan
surah al-Ikhlas. Kalau kalian setuju, aku mau mengimami kalian untuk
seterusnya, kalau tidak maka saya tidak mau mengimami kalian.” Karena mereka
tidak melihat orang lain yang lebih baik dari imam tersebut, mereka tidak mau
diimami oleh orang lain. Setibanya di Madinah mereka menemui Rasulullah SAW dan
menceriterakan hal tersebut pada beliau. Rasulullahpun bertama pada imam
tersebut: “Hai fulan, apa sesungguhnya yang membuatmu tidak mau menuruti
permintaan teman-temanmu dan terus menerus membaca surah al-Ikhlas pada setiap
rakaat?” Imam tersebut menjawab: “Ya Rasulullah, aku sangat mencintai
Surah itu.” Rasulullah SAW berkata: “Kecintaanmu kepada Surah itu akan
memasukkan dirimu ke dalam
surga.”
Mengenai makna Hadits ini, al-Hafizh Ubnu Hajar -dalam
kitabnya Al-Fath- mengatakan:“Orang itu berbuat melebihi kebiasaan yang
telah ditentukan karena terdorong oleh kecintaannya kepada surah tersebut.
Namun Rasulullah SAW menggembirakan orang itu dengan pernyataan bahwa ia akan
masuk surga. Hal ini menunjukkan bahwa beliau SAW
meridhainya.” .
Al-Imam Nashiruddin Ibnul Munir menjelaskan makna
Hadits tersebut dengan berkata: “Niat atau tujuan dapat mengubah kedudukan
hukum suatu perbuatan.” Selanjutnya ia berkata: “Seandainya orang itu menjawab
dengan alasan karena tidak hafal surah yang lain, mungkin Rasulullah SAW akan
menyuruhnya untuk menghafal surah-surah selain yang selalu dibaca
berulang-ulang itu. Akan tetapi karena ia mengemukakan alasan “karena sangat
mencintai surah itu (al-Ikhlas), Rasulullahpun membenarkannya, sebab
alasan itu menunjukkan niat baik dan tujuan yang sehat.” Lebih jauh al-Imam
Nashiruddin mengatakan: “Hadits tersebut juga menunjukkan bahwa orang boleh
membaca berulang-ulang surah atau ayat-ayat khusus dalam al-Qur’an menurut
kesukaannya. Kesukaan demikian itu tidak dapat diartikan bahwa orang yang
bersangkutan tidak menyukai seluruh isi al-Qur’an atau meninggalkannya.”
7. Hadits riwayat Muslim,
bahwa Rasulullah SAW bersabda:
مَنْ سَنَّ فِي الإِسْلاَمِ سُنَّةً
حَسَنَةً فَلَهُ أَجْرُهَا وَأَجْرُ مَنْ عَمِلَ بِهَا بَعْدَهُ مِنْ غَيْرِ أَنْ
يَنْقُصُ مِنْ أُجُوْرِهِمْ شَيْءٌ، وَمَنْ سَنَّ فِي الإِسْلاَمِ سُنَّةً
سَيِّئَةً كَانَ عَلَيْهِ وِزْرُهَا وَ وِزْرُ مَنْ عَمِلَ بِهَا مِنْ بَعْدِهِ
مِنْ غَيْرِ أَنْ يَنْقُصَ مِنْ أَوْزَارِهِمْ شَيْءٌ.
“Barang siapa melakukan suatu ‘sunnah’ yang baik didalam
Islam, maka ia mendapat pahala perbuatannya dan pahala orang yang ikut
mengamalkan ‘sunnah’nya tersebut, tanpa berkurang sedikitpun dari pahala mereka
yang ikut mengamalkannya. Barang siapa yang melakukan satu ‘sunnah’ yang buruk,
maka ia mendapat dosa perbuatannya dan dosa orang yang ikut mengamalkan
‘sunnah’nya tersebut, tanpa berkurang sedikitpun dari dosa mereka yang ikut
mengamalkannya.”
Dalam bahasa Arab, kalimat “Sanna” berarti memulai suatu
bentuk perbuatan. Dari itu, tidak seorangpun dari ulama salaf yang menyimpulkan
“Sunnah Hasanah” dalam Hadits diatas dengan “Sunnah Tsabitah” (bentuk amalan
yang dicontohkan Nabi) dan “Sunnah Sayyi’ah” dengan “Sunnah Ghairu Tsabitah”
(bentuk amalan yang tidak dicontohkan Nabi). KH. Ali Badri Azmatkhan berkata:
“Kalau bermaksud menghidupkan Sunnah Tsabitah yang telah lama ditinggal orang,
maka ungkapannya tidak bisa dengan kalimat “Sanna Sunnatan”, melainkan dengan
kalimat “Ahya Sunnatan”. Apabila kita mengartikan “Sunnah Hasanah” dalam Hadits
diatas dengan “Sunnah Tsabitah” dan “Sunnah Sayyi’ah” dengan “Sunnah Ghairu
Tsabitah”, maka kita telah melakukan ‘pemaksaan’ makna terhadap konteks sebuah
Hadits, dan ini adalah ‘kejahatan’ ilmiyah.”[7]
8. Riwayat al-Bukhari dalam
sebuah Hadits tentang Fadha’il (keutamaan) Surah al-Ikhlas, dari
Sa’id al-Khudri RA bahwa beliau mendengar seseorang mengulang-ulang
bacaan Qul huwallahu ahad. Keesokan harinya belia (Sa’id Al-Khudri)
memberitahukan hal itu kepada Rasulullah SAW, sedangkan orang yang dilaporkan
masih terus mengulang-ulang bacaannya. Menanggapi laporan Sahabat Sa’id,
Rasulullah SAW berkata: “Demi Allah Yang hidupku ada di tangan-Nya, itu
sama dengan membaca sepertiga
Qur’an.”
Al-Imam al-Hafizh mengatakan didalam Fathul-Bari,
bahwa orang yang disebut dalam Hadits itu ialah Qatadah bin Nu’man. Hadits
tersebut diriwayatkan oleh Ahmad bin Tharif dari Abu Sa’id yang mengatakan
bahwa sepanjang malam Qatadah bin Nu’man terus-menerus membaca Qul huwallahu
Ahad, tidak lebih. Mungkin yang mendengar adalah saudaranya seibu (dari lain
ayah), yaitu Abu Sa’id yang tempat tinggalnya berdekatan sekali dengan Qatadah
bin Nu’man. Hadits yang sama diriwayatkan juga oleh Malik bin Anas, bahwa Abu
Sa’id mengatakan: ‘Tetanggaku selalu bersembahyang di malam hari dan
terus-menerus membaca Qul huwAllahu ahad’.
9. Ashabussunan, Imam
Ahmad bin Hanbal dan Ibnu Hibban dalam Shohih-nya meriwayatkan sebuah
Hadits dari ayah Abu Buraidah yang menceritakan kesaksiannya sendiri sebagai
berikut: ‘Pada suatu hari aku bersama Rasulullah SAW masuk kedalam masjid
Nabawi. Didalamnya terdapat seseorang sedang menunaikan shalat sambil berdo’a:
“Ya Allah, aku mohon kepada-Mu dengan bersaksi bahwa tiada tuhan selain Engkau.
Engkaulah Al-Ahad, As-Shamad, Lam yalid’ wa lam yuulad’ wa lam yakullahu
kufuwan ahad.” Mendengar do’a itu Rasulullah SAW. bersabda; “Demi Allah Yang
hidupku ada di tangan-Nya, dia mohon kepada Allah dengan Asma-Nya Yang Maha
Besar, yang bila dimintai akan memberi dan bila orang berdo’a kepada-Nya Dia
akan menjawab”.
. Tidak diragukan lagi, bahwa do’a yang
mendapat tanggapan sangat menggembirakan dari Rasulullah SAW itu disusun atas
inisiatif orang yang berdo’a itu sendiri, bukan diajarkan atau diperintahkan
oleh Rasulullah SAW kepadanya. Karena susunan do’a itu sesuai dengan ketentuan
syari’at dan bernafaskan tauhid, maka beliau SAW menanggapinya dengan baik,
membenarkan dan meridhoinya.
10. Riwayat Muslim dan at-Tirmidzi yang juga
dikutip oleh as-Shan’ani ‘Abdurrazzaq dalamal-Mushannaf. Hadits dari Ibnu Umar,
beliau berkata: “Ketika kami sedang melakukan shalat bersama Nabi SAW, diantara
kami ada yang mengucapkan ‘Allahu Akbaru Kabiiran Wal Hamdu Lillahi
Katsiiran Wa SubhaanAllahi Bukratan Wa Ashiila’. Setelah selesai shalat,
Rasulullah SAW bertanya: ‘Siapakah yang mengucapkan kalimat-kalimat
tadi?’ Orang itupun menyahut: ‘Wahai Rasulullah, Akulah yang mengucapkan
kalimat-kalimat tadi.” Mak Rasulullah SAW berkata: ‘Aku sangat kagum dengan
kalimat-kalimat tadi. Sesungguhnya pintu-pintu langit dibuka karenanya’. Ibnu
Umar berkata: Sejak aku mendengar ucapan itu dari Nabi SAW, aku tidak pernah
meninggalkan untuk mengucapkan kalimat-kalimat tadi.”
Demikianlah bukti yang berkaitan
dengan pembenaran dan keridhaan Rasulullah SAW terhadap
prakarsa-prakarsa baru para ahabat beliau, berupa doa-doa dan bacaan surah di
dalam shalat, walaupun beliau SAW sendiri tidak pernah melakukannya atau
memerintahkannya. Kemudian Ibnu Umar mengamalkan hal tersebut bukan karena
anjuran dari Rasulullah SAW tapi karena mendengar jawaban beliau SAW mengenai
bacaan itu. Dari itu, sangatlah mengherankan ketika orang yang menganggap doa
Qunut shalat Shubuh sebagai Bid’ah, padahal doa tersebut berasal dari Hadits
Rasulullah SAW yang diriwayatkan oleh Abu Dawud, ar-Turmudzi, an-Nasa’i dan
lain-laina dari al-Hasan bin Ali bin Abi Thalib RA, juga oleh al-Baihaqi dari Ibnu
Abbas. Waktu dan posisi berdiri untuk doa Qunut shalat Shubuh juga berdasarkan
Hadits-hadits yang diriwayatkan oleh Anas bin Malik, Awam bin Hamzah,
Abdullah bin Ma’qil dan al-Barra’, riwayat itu dishahihkan oleh sekolompok
Huffazh, diantaranya al-Hafizh Abu Abdillah Muhammad Ali al-Bakhi,
al-Hakim Abu Abdillah, al-Imam Muslim, al-Imam asy-Syafi’i, al-Imam al-Baihaqi
dan ad-Daraquthni dan lain lain. Bagaimana mungkin doa Qunut yang berasal dari
Nabi SAW tersebut dikatakan Bid’ah, sedangkan doa tambahan dalam shalat atas
inisiatif sendiri saja tidak dipersalahkan oleh Nabi SAW, bahkan malah diridhoi
dan diberi kabar gembira bagi yang menambahnya?
11. Riwayat al-Bukhari dari Abu
Sa’id al-Khudri tentang Ruqyah (pengobatan dengan berdo’a atau
membaca ayat-ayat al-Qur’an) yang dilakukan oleh rombongan sahabat Nabi SAW
ketika singgah di pemukiman sebuah suku Arab Badui. Ceritanya, karena sangat
lapar, mereka minta pada penduduk di pemukiman itu agar menjamu mereka. Tapi
permintaan itu ditolak. Pada saat itu kepala suku tersengat binatang berbisa
sehingga tidak dapat jalan. Karena tidak ada orang yang bisa mengobatinya,
akhirnya mereka mendekati rombongan sahabat Nabi itu seraya berkata: “Siapa
diantara kalian yang bisa mengobati kepala suku kami yang tersengat binatang
berbisa? Salah seorang sahabat sanggup menyembuhkannya tapi dengan syarat
diberi makanan. Setelah persyaratan itu disetujui maka sahabat Nabi itu
mendatangi kepala suku lalu membacakannya surah al-Fatihah, seketika itu juga
kepala suku sembuh dan langsung bisa berjalan. Maka diberikanlah beberapa ekor
kambing kepada para Sahabat sesuai dengan perjanjian. Para Sahabat belum berani
membagi kambing itu sebelum menghadap Rasulullah SAW. Setiba dihadapan
Rasulullah SAW, mereka menceritakan apa yang telah mereka lakukan terhadap
kepala suku itu. Lalu Rasulullah SAW berkata: ‘Bagaimana engkau tahu bahwa
surah al-Fatihah itu dapat menyembuhkan?” Rasulullah SAW membenarkan mereka dan
ikut makan sebagian dari daging kambing tersebut.”
Masih banyak lagi Hadits yang meriwayatkan tentang
perbuatan para Sahabat atas dasar inisiatif dan ijtihad sendiri. Semuanya
diridhoi oleh Rasulullah SAW dan beliau memberi kabar gembira pada mereka.
Amalan-amalan tersebut tidak diperintah atau dianjurkan oleh Rasulullah SAW sebelum
dan sesudahnya. Karena semua itu bertujuan baik dan tidak melanggar
syariát maka Rasulullah SAW meridhoi dan memberi mereka kabar gembira.
Perbuatan-perbuatan tersebut, dalam pandangan syari’at,
dinamakan Sunnah Mustanbathah(sunnah yang ditetapkan berdasarkan hasil
Ijtihad). Dengan demikian, Hadits-hadits diatas adalah dalil bahwa setiap
inisiatif baik dalam ibadah, selama tidak keluar dari garis-garis yang
ditentukan syari’at, adalah hal baik yang disukai (mustahab), apalagi inisiatif
itu bermanfaat bagi kaum muslimin, maka tentu malah dianjurkan.
Kalau kita perhatikan, Hadits-hadits diatas banyak
yang berkaitan dengan masalah shalat yang merupakan ibadah pokok dalam
Islam. Walaupun Rasulullah SAW telah bersabda:
صَلُُوْا كَمَا رَأيْتُمُوْنِي
أصَلِي (رواه البخاري)
‘Hendaklah kamu shalat sebagaimana kalian melihat aku
Shalat’ (HR al-Bukhari),
kenyataannya beliau membenarkan dan meridhoi
tambahan-tambahan doa dan bacaan surah atas inisiatif para Sahabat.
Itu berarti beliau memandang tambahan doa dan bacaan surah itu tidak keluar
dari batas-batas yang telah ditentukan oleh syari’at. Bila ijtihad dan amalan
para sahabat itu melanggar dan merubah hukum-hukum yang telah ditentukan
oleh syari’at, pasti akan ditegur dan dilarang oleh Rasulullah SAW.
Kalau dipahami dari segi bahasa, Bid’ah adalah apa saja
yang tidak diperintah atau dicontohkan oleh Rasulullah SAW. Akan tetapi
kenyataannya Rasulullah SAW membenarkan dan meridhoi banyak amalan atas
inisiatif para sahabat tanpa diperintah dicontohkan oleh beliau. Maka kenyataan
ini menyimpulkan bahwa Bid’ah yang sesat itu adalah Bid’ah dalam tanda kutip,
yaitu Bid’ah yang bertentangan dengan al-Qur’an dan Hadits, bukan semua hal
baru yang tidak dicontohkan oleh Rasululah SAW. Selebihnya, selama niatnya baik
dan caranya tidak melanggar, siapapun akan mendapat jawaban dari Hadits..
اِنَّمَا الأَعْمَالُ بِالْنِّيَّاتِ
وَاِنَّمَا لِكُلِّ امْرِئٍ مَا نَوَى, فَمَنْ كَانَتْ هجْرَتُهُ الَى اللهِ
وَرَسُوْلِهِ فَهِجْرَتُهُ اِلى اللهِ وَرَسُوْلِهِ
‘Sesungguhnya segala perbuatan tergantung kepada niat,
dan setiap manusia akan mendapat sekadar apa yang diniatkan, siapa yang
hijrahnya (tujuannya) karena Allah dan
Rasul-Nya, hijrahnya itu adalah karena Allah dan
Rasul-Nya (berhasil)’. (HR. al-Bukhari).
Begitulah pemikiran ulama salaf. Tetapi fitnah adalah
sunnatullah. Nampaknya dalam hidup ini memang harus ada fitnah sebagai ujian,
untuk memastikan bahwa ada orang sabar yang bijak dan ada pula orang ceroboh
yang berpikiran sempit. Dari itu, tidak heran kalau ada saja orang yang
berani menjelek-jelekkan ulama salaf dengan berkata bahwa ulama salaf yang
membagi bid’ah menjadi beberapa jenis itu telah membuka lebar pintu-pintu
“Bid’ah sesat” bagi kaum muslimin. Na’udzu billah, kita berlindung kepada Allah
dari tindakan ceroboh dan tidak hormat pada ulama salaf.
[1] Shahih al-Bukhari, II
: 284.
[2] Ibnu Hajar al-Asqalani, Fath
al-Bari, II : 287.
[3] Ibnu Hajar al-Asqalani, Fath
al-Bari, VIII : 313.
[4] Hadits Shahih Riwayat
al-Bukhari, Muslim dan Ahmad bin Hanbal.
[5] Ibnu Hajar al-Asqalani,
Fath al-Baari, III : 276.
[6] Shahih Muslim, I : 419.
[7] KH. Ali Badri Azmatkhan,
Klarifikasi masalah Khilafiyah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar