Senin, 08 April 2013


Shahabat mengerjakan hal-hal mukhdats (baru), sebagai wujud adanya bid'ah hasanah.
بسم الله الرحمن الرحيم


Banyak Hadits yang meriwayatkan bahwa para sahabat Nabi SAW melakukan hal baru dalam hal ubudiyah, muamalah dan sebagainya, dan tentunya tetap berlandaskan dalil syari’at serta tidak menyalahi pokok-pokoknya, sebagaimana itu adalah landasan dalam memandang bid’ah hasanah.J bid'ah jhasanah hakikatnya sunnah juga, yaitu mengacu kepada dalil yang umum  atau  mengacu ketetapan kebolehan muamalah sampai ada dalil yang melarangnya. Jika hendak dipaksakan pendapat semua bid'ah adalah sesat, diletakkan dimanakah perbuatan-perbuatan sahabat tersebut ?
Lalu bagaimana Rasulullah SAW menanggapi masalah hal tersebut? Perhatikanlah riwayat-riwayat berikut:
1.      Hadits riwayat Imam al-Bukhari dalam shahihnya[1] yang menerangkan bahwa Rifa’ah bin Rafi’ az-Zuraqi berkata: “Pada suatu hari aku shalat dibelakang Rasulullah SAW Ketika berdiri (I’tidal) sesudah ruku’, beliau SAW mengucapkan ‘Sami’allahu liman hamidah’. Salah seorang yang ma’mum menyusul ucapan beliau itu dengan berdo’a: ‘Rabbana lakal hamdu hamdan katsiiran thayyiban mubarakan fiihi’ (Ya Tuhan kami, puji syukur sebanyak-banyaknya dan sebaik-baiknya atas limpahan keberkahan-Mu). Setelah shalat Rasulullah SAW. bertanya: ‘Siapa tadi yang berdo’a?’. 
Orang yang bersangkutan menjawab: ‘saya, ya Rasulallah.’ Rasulullah SAW. berkata : ‘Aku melihat lebih dari 30 malaikatberebutingin mencatat do’a itu lebih dulu’.“                           
.Dalam kitab Fathul Bari, Ibnu Hajar al-Asqalani mengatakan[2]:  “Hadits ini a
dalah dalil bolehnya membaca suatu dzikir -dalam shalat- yang tidak dicontohkan oleh Nabi SAW (ghair ma’tsur), asalkan dzikir tersebut tidak bertolak belakang atau bertentangan dengan dzikir yang ma’tsur (dicontohkan langsung oleh Nabi Muhammad SAW). Disamping itu, Hadits tersebut mengisyaratkan bolehnya mengeraskan suara (bagi makmum) selama tidak mengganggu orang yang ada didekatnya.”.                   .
 Ibnu Hajar juga berkata bahwa Hadits tersebut menunjukkan juga diperbolehkannya orang berdo’a atau berdzikir diwaktu shalat selain dari yang sudah biasa, asalkan maknanya tidak berlawanan dengan kebiasaan yang telah ditentukan (diwajibkan). Hadits ini juga memperbolehkan orang mengeraskan suara diwaktu shalat selama tidak menimbulkan keberisikan.                            . 
Lihat pula kitab Itqan Ash-Shan’ah Fi Tahqiq al-Bid’ah untuk mengetahui makna al-bid’ah karangan Imam Muhaddis Abdullah bin Shiddiq Al-Ghimari untuk mengetahui makna Al-bid’ah.
2.      Hadits Shahih riwayat al-Bukhari mengenai perbuatan Bilal dan Khabbab, dimana mereka shalat dua rakaat sebagai pernyataan sabar (bela sungkawa) disaat menghadapi orang muslim yang mati terbunuh.[3]                                        
    . Dengan Hadits ini kita mengetahui bahwa Bilal dan Khabbab RA telah menetapkan waktu-waktu ibadah atas dasar prakarsanya sendiri-sendiri. Rasulullah SAW tidak memerintahkan hal itu dan tidak pula melakukannya, Rasulullah SAW hanya secara umum menganjurkan supaya kaum muslimin banyak beribadah. Sekalipun demikian beliau tidak melarang bahkan membenarkan prakarsa dua orang sahabat itu.

3.      Hadits riwayat Abu Hurairah, bahwa Rasulullah SAW. bertanya pada Bilal RA seusai shalat Shubuh: “Hai Bilal, katakanlah padaku apa amal yang telah engkau perbuat, sebab aku mendengar suara terompahmu didalam surga’. Bilal menjawab: “Bagiku amal yang paling kuharapkan ialah aku selalu suci tiap waktu (yakni selalu dalam keadaan berwudhu) siang-malam sebagaimana aku menunaikan shalat “.[4]                                                                         
    .   Dalam Hadits lain yang diketengahkan oleh at-Tirmidzi dan disebutnya sebagai Hadits hasan dan shahih, demikian juga dishahihkan oleh al-Hakim dan adz-Dzahabi, yaitu bahwa Rasulullah SAW meridhai prakarsa Bilal yang tidak pernah meninggalkan shalat dua rakaat setelah adzan dan pada tiap saat wudhu’nya batal, dia segera mengambil air wudhu dan shalat dua raka’at demi karena Allah SWT. al-Hafizh Ibnu Hajar kemudian menjelaskan: Dari Hadits tersebut dapat diperoleh pengertian, bahwa ijtihad menetapkanwaktu ibadah diperbolehkan. Apa yang dikatakan oleh Bilal kepada Rasulullah SAW.adalah hasil istinbath (ijtihad)-nya sendiri dan ternyata dibenarkan oleh beliau.[5]
4.      Hadits riwayat Anas bin Malik RA: Seseorang dengan terengah-engah masuk kedalam barisan (shaf) shalat. Kemudian dia mengatakan (dalam shalatnya) Alhamdulillah hamdan katsiran thayyiban mubarakan fihi (segala puji hanya bagi Allah dengan pujian yang banyak, bagus dan penuh berkah). Setelah Rasulullah SAW. selesai dari shalatnya, beliau bersabda : ‘Siapakah diantara kalian yang mengatakan beberapa kalimat?’ Orang-orang diam. Lalu beliau SAW bertanya lagi: ‘Siapakah diantara kalian yang mengatakannya? Sesungguhnya dia tidak mengatakan sesuatu yang percuma’. Orang yang datang tadi berkata: ‘Aku datang sambil terengah-engah (kelelahan) sehingga aku mengatakannya’. Maka Rasulullah SAW. bersabda: ‘Sungguh aku melihat dua belas malaikat berebut memburunya untuk mengangkatkannya (membawa amalan itu kepada Allah).[6]
5.      Dalam Kitabut-Tauhid, al-Bukhari mengetengahkan sebuah Hadits dari ‘Aisyah RA yang mengatakan: “Pada suatu saat Rasulullah SAW menugaskan seseorang untuk memimpin suatu rombongan ke suatu daerah untuk menangkal serangan kaum musyrikin. Tiap mengimami shalat berjama’ah, setelah surah al-Fatihah, ia selalu membaca surah Al-Ikhlas. Setelah mereka pulang ke Madinah, seorang dari mereka memberitahukan hal itu kepada Rasulullah SAW. Beliau SAW menjawab: ‘Tanyakanlah padanya apa yang dimaksud’. Setelah ditanya maka Sahabat pemimpin itupun menjelaskan: “Karena surah sl-Ikhlas itu menerangkan sifat ar-Rahman dan aku suka sekali membacanya” Ketika jawaban itu disampaikan kepada Rasulullah SAW maka beliau berkata: “Sampaikan kepadanya bahwa Allah menyukainya.”                     
   . Apa yang dilakukan oleh orang tadi (mengulang surah al-Ikhlash dalam tiap shalat) tidak pernah dilakukan dan diperintahkan oleh Rasulullah SAW, itu hanya inisiatif orang itu sendiri. Namun Rasulullah SAW tidak mempersalahkan dan tidak pula mencelanya, bahkan memuji dan meridhoinya dengan ucapan “Allah menyukainya”.
6.      Riwayat al-Bukhari dalam Kitabus Sholah (Hadits serupa dengan  yang diatas) dari Anas bin Malik menceriterakan bahwa ada beberapa orang shalat di masjid Quba. Setelah membaca surah al-Fatihah dan satu surah yang lain, sang imam menambah dengan surah al-Ikhlas. Hal itu dilakukan setiap rakaat. Setelah shalat, para makmum menegurnya: "Kenapa Anda setelah membaca Fatihah dan surah lainnya selalu menambah dengan surah al-Ikhlas? Anda, kan, bisa memilih surah yang lain dan meninggalkan surah al-Ikhlas atau membaca surah al-Ikhlas tanpa membaca surah yang lain.” Imam tersebut menjawab: “Tidak, saya tidak mau meninggalkan surah al-Ikhlas. Kalau kalian setuju, aku mau mengimami kalian untuk seterusnya, kalau tidak maka saya tidak mau mengimami kalian.” Karena mereka tidak melihat orang lain yang lebih baik dari imam tersebut, mereka tidak mau diimami oleh orang lain. Setibanya di Madinah mereka menemui Rasulullah SAW dan menceriterakan hal tersebut pada beliau. Rasulullahpun bertama pada imam tersebut: “Hai fulan, apa sesungguhnya yang membuatmu tidak mau menuruti permintaan teman-temanmu dan terus menerus membaca surah al-Ikhlas pada setiap rakaat?” Imam tersebut menjawab: “Ya Rasulullah, aku sangat mencintai Surah itu.” Rasulullah SAW berkata: “Kecintaanmu kepada Surah itu akan memasukkan dirimu ke dalam surga.”                                                              
Mengenai makna Hadits ini, al-Hafizh Ubnu Hajar -dalam kitabnya Al-Fath- mengatakan:“Orang itu berbuat melebihi kebiasaan yang telah ditentukan karena terdorong oleh kecintaannya kepada surah tersebut. Namun Rasulullah SAW menggembirakan orang itu dengan pernyataan bahwa ia akan masuk surga. Hal ini menunjukkan bahwa beliau SAW meridhainya.”                                                        .  
 Al-Imam Nashiruddin Ibnul Munir menjelaskan makna Hadits tersebut dengan berkata: “Niat atau tujuan dapat mengubah kedudukan hukum suatu perbuatan.” Selanjutnya ia berkata: “Seandainya orang itu menjawab dengan alasan karena tidak hafal surah yang lain, mungkin Rasulullah SAW akan menyuruhnya untuk menghafal surah-surah selain yang selalu dibaca berulang-ulang itu. Akan tetapi karena ia mengemukakan alasan “karena sangat mencintai surah itu (al-Ikhlas), Rasulullahpun membenarkannya, sebab alasan itu menunjukkan niat baik dan tujuan yang sehat.” Lebih jauh al-Imam Nashiruddin mengatakan: “Hadits tersebut juga menunjukkan bahwa orang boleh membaca berulang-ulang surah atau ayat-ayat khusus dalam al-Qur’an menurut kesukaannya. Kesukaan demikian itu tidak dapat diartikan bahwa orang yang bersangkutan tidak menyukai seluruh isi al-Qur’an atau meninggalkannya.”

7.      Hadits riwayat Muslim, bahwa Rasulullah SAW bersabda:
مَنْ سَنَّ فِي الإِسْلاَمِ سُنَّةً حَسَنَةً فَلَهُ أَجْرُهَا وَأَجْرُ مَنْ عَمِلَ بِهَا بَعْدَهُ مِنْ غَيْرِ أَنْ يَنْقُصُ مِنْ أُجُوْرِهِمْ شَيْءٌ، وَمَنْ سَنَّ فِي الإِسْلاَمِ سُنَّةً سَيِّئَةً كَانَ عَلَيْهِ وِزْرُهَا وَ وِزْرُ مَنْ عَمِلَ بِهَا مِنْ بَعْدِهِ مِنْ غَيْرِ أَنْ يَنْقُصَ مِنْ أَوْزَارِهِمْ شَيْءٌ.
“Barang siapa melakukan suatu ‘sunnah’ yang baik didalam Islam, maka ia mendapat pahala perbuatannya dan pahala orang yang ikut mengamalkan ‘sunnah’nya tersebut, tanpa berkurang sedikitpun dari pahala mereka yang ikut mengamalkannya. Barang siapa yang melakukan satu ‘sunnah’ yang buruk, maka ia mendapat dosa perbuatannya dan dosa orang yang ikut mengamalkan ‘sunnah’nya tersebut, tanpa berkurang sedikitpun dari dosa mereka yang ikut mengamalkannya.”

Dalam bahasa Arab, kalimat “Sanna” berarti memulai suatu bentuk perbuatan. Dari itu, tidak seorangpun dari ulama salaf yang menyimpulkan “Sunnah Hasanah” dalam Hadits diatas dengan “Sunnah Tsabitah” (bentuk amalan yang dicontohkan Nabi) dan “Sunnah Sayyi’ah” dengan “Sunnah Ghairu Tsabitah” (bentuk amalan yang tidak dicontohkan Nabi). KH. Ali Badri Azmatkhan berkata: “Kalau bermaksud menghidupkan Sunnah Tsabitah yang telah lama ditinggal orang, maka ungkapannya tidak bisa dengan kalimat “Sanna Sunnatan”, melainkan dengan kalimat “Ahya Sunnatan”. Apabila kita mengartikan “Sunnah Hasanah” dalam Hadits diatas dengan “Sunnah Tsabitah” dan “Sunnah Sayyi’ah” dengan “Sunnah Ghairu Tsabitah”, maka kita telah melakukan ‘pemaksaan’ makna terhadap konteks sebuah Hadits, dan ini adalah ‘kejahatan’ ilmiyah.”[7]

8.      Riwayat al-Bukhari dalam sebuah Hadits tentang Fadha’il (keutamaan) Surah al-Ikhlas, dari Sa’id al-Khudri RA bahwa beliau mendengar seseorang mengulang-ulang bacaan Qul huwallahu ahad. Keesokan harinya belia (Sa’id Al-Khudri) memberitahukan hal itu kepada Rasulullah SAW, sedangkan orang yang dilaporkan masih terus mengulang-ulang bacaannya. Menanggapi laporan Sahabat Sa’id, Rasulullah SAW berkata: “Demi Allah Yang hidupku ada di tangan-Nya, itu sama dengan membaca sepertiga Qur’an.”                                                                        
Al-Imam al-Hafizh mengatakan didalam Fathul-Bari, bahwa orang yang disebut dalam Hadits itu ialah Qatadah bin Nu’man. Hadits tersebut diriwayatkan oleh Ahmad bin Tharif dari Abu Sa’id yang mengatakan bahwa sepanjang malam Qatadah bin Nu’man terus-menerus membaca Qul huwallahu Ahad, tidak lebih. Mungkin yang mendengar adalah saudaranya seibu (dari lain ayah), yaitu Abu Sa’id yang tempat tinggalnya berdekatan sekali dengan Qatadah bin Nu’man. Hadits yang sama diriwayatkan juga oleh Malik bin Anas, bahwa Abu Sa’id mengatakan: ‘Tetanggaku selalu bersembahyang di malam hari dan terus-menerus membaca Qul huwAllahu ahad’.

9.      Ashabussunan, Imam Ahmad bin Hanbal dan Ibnu Hibban dalam Shohih-nya meriwayatkan sebuah Hadits dari ayah Abu Buraidah yang menceritakan kesaksiannya sendiri sebagai berikut: ‘Pada suatu hari aku bersama Rasulullah SAW masuk kedalam masjid Nabawi. Didalamnya terdapat seseorang sedang menunaikan shalat sambil berdo’a: “Ya Allah, aku mohon kepada-Mu dengan bersaksi bahwa tiada tuhan selain Engkau. Engkaulah Al-Ahad, As-Shamad, Lam yalid’ wa lam yuulad’ wa lam yakullahu kufuwan ahad.” Mendengar do’a itu Rasulullah SAW. bersabda; “Demi Allah Yang hidupku ada di tangan-Nya, dia mohon kepada Allah dengan Asma-Nya Yang Maha Besar, yang bila dimintai akan memberi dan bila orang berdo’a kepada-Nya Dia akan menjawab”.                                                          
 . Tidak diragukan lagi, bahwa do’a yang mendapat tanggapan sangat menggembirakan dari Rasulullah SAW itu disusun atas inisiatif orang yang berdo’a itu sendiri, bukan diajarkan atau diperintahkan oleh Rasulullah SAW kepadanya. Karena susunan do’a itu sesuai dengan ketentuan syari’at dan bernafaskan tauhid, maka beliau SAW menanggapinya dengan baik, membenarkan dan meridhoinya.
10.  Riwayat Muslim dan at-Tirmidzi yang juga dikutip oleh as-Shan’ani ‘Abdurrazzaq dalamal-Mushannaf. Hadits dari Ibnu Umar, beliau berkata: “Ketika kami sedang melakukan shalat bersama Nabi SAW, diantara kami ada yang mengucapkan ‘Allahu Akbaru Kabiiran Wal  Hamdu Lillahi Katsiiran Wa SubhaanAllahi Bukratan Wa Ashiila’. Setelah selesai shalat, Rasulullah SAW bertanya: ‘Siapakah yang mengucapkan kalimat-kalimat tadi?’ Orang itupun menyahut: ‘Wahai Rasulullah, Akulah yang mengucapkan kalimat-kalimat tadi.” Mak Rasulullah SAW berkata: ‘Aku sangat kagum dengan kalimat-kalimat tadi. Sesungguhnya pintu-pintu langit dibuka karenanya’. Ibnu Umar berkata: Sejak aku mendengar ucapan itu dari Nabi SAW, aku tidak pernah meninggalkan untuk mengucapkan kalimat-kalimat tadi.”                                                                             
Demikianlah bukti yang berkaitan dengan pembenaran dan keridhaan Rasulullah SAW terhadap prakarsa-prakarsa baru para ahabat beliau, berupa doa-doa dan bacaan surah di dalam shalat, walaupun beliau SAW sendiri tidak pernah melakukannya atau memerintahkannya. Kemudian Ibnu Umar mengamalkan hal tersebut bukan karena anjuran dari Rasulullah SAW tapi karena mendengar jawaban beliau SAW mengenai bacaan itu. Dari itu, sangatlah mengherankan ketika orang yang menganggap doa Qunut shalat Shubuh sebagai Bid’ah, padahal doa tersebut berasal dari Hadits Rasulullah SAW yang diriwayatkan oleh Abu Dawud, ar-Turmudzi, an-Nasa’i dan lain-laina dari al-Hasan bin Ali bin Abi Thalib RA, juga oleh al-Baihaqi dari Ibnu Abbas. Waktu dan posisi berdiri untuk doa Qunut shalat Shubuh juga berdasarkan Hadits-hadits yang diriwayatkan oleh Anas bin Malik, Awam bin Hamzah, Abdullah bin Ma’qil dan al-Barra’, riwayat itu dishahihkan oleh sekolompok Huffazh,  diantaranya al-Hafizh Abu Abdillah Muhammad Ali al-Bakhi, al-Hakim Abu Abdillah, al-Imam Muslim, al-Imam asy-Syafi’i, al-Imam al-Baihaqi dan ad-Daraquthni dan lain lain. Bagaimana mungkin doa Qunut yang berasal dari Nabi SAW tersebut dikatakan Bid’ah, sedangkan doa tambahan dalam shalat atas inisiatif sendiri saja tidak dipersalahkan oleh Nabi SAW, bahkan malah diridhoi dan diberi kabar gembira bagi yang menambahnya?
11.  Riwayat   al-Bukhari dari Abu Sa’id al-Khudri tentang Ruqyah (pengobatan dengan berdo’a atau membaca ayat-ayat al-Qur’an) yang dilakukan oleh rombongan sahabat Nabi SAW ketika singgah di pemukiman sebuah suku Arab Badui. Ceritanya, karena sangat lapar, mereka minta pada penduduk di pemukiman itu agar menjamu mereka. Tapi permintaan itu ditolak. Pada saat itu kepala suku tersengat binatang berbisa sehingga tidak dapat jalan. Karena tidak ada orang yang bisa mengobatinya, akhirnya mereka mendekati rombongan sahabat Nabi itu seraya berkata: “Siapa diantara kalian yang bisa mengobati kepala suku kami yang tersengat binatang berbisa? Salah seorang sahabat sanggup menyembuhkannya tapi dengan syarat diberi makanan. Setelah persyaratan itu disetujui maka sahabat Nabi itu mendatangi kepala suku lalu membacakannya surah al-Fatihah, seketika itu juga kepala suku sembuh dan langsung bisa berjalan. Maka diberikanlah beberapa ekor kambing kepada para Sahabat sesuai dengan perjanjian. Para Sahabat belum berani membagi kambing itu sebelum menghadap Rasulullah SAW. Setiba dihadapan Rasulullah SAW, mereka menceritakan apa yang telah mereka lakukan terhadap kepala suku itu. Lalu Rasulullah SAW berkata: ‘Bagaimana engkau tahu bahwa surah al-Fatihah itu dapat menyembuhkan?” Rasulullah SAW membenarkan mereka dan ikut makan sebagian dari daging kambing tersebut.”

Masih banyak lagi Hadits yang meriwayatkan tentang perbuatan para Sahabat atas dasar inisiatif dan ijtihad sendiri. Semuanya  diridhoi oleh Rasulullah SAW dan beliau memberi kabar gembira pada mereka. Amalan-amalan tersebut tidak diperintah atau dianjurkan oleh Rasulullah SAW sebelum dan sesudahnya. Karena semua itu bertujuan baik dan tidak melanggar syariát maka Rasulullah SAW meridhoi dan memberi mereka kabar gembira.
Perbuatan-perbuatan tersebut, dalam pandangan syari’at, dinamakan Sunnah Mustanbathah(sunnah yang ditetapkan berdasarkan hasil Ijtihad). Dengan demikian, Hadits-hadits diatas adalah dalil bahwa setiap inisiatif baik dalam ibadah, selama tidak keluar dari garis-garis yang ditentukan syari’at, adalah hal baik yang disukai (mustahab), apalagi inisiatif itu bermanfaat bagi kaum muslimin, maka tentu malah dianjurkan.
Kalau kita perhatikan, Hadits-hadits diatas banyak yang berkaitan dengan masalah shalat yang merupakan ibadah pokok dalam Islam. Walaupun Rasulullah SAW telah bersabda:
صَلُُوْا كَمَا رَأيْتُمُوْنِي أصَلِي  (رواه البخاري)
‘Hendaklah kamu shalat sebagaimana kalian melihat aku Shalat’ (HR al-Bukhari),
kenyataannya beliau membenarkan dan meridhoi tambahan-tambahan doa dan bacaan surah atas inisiatif para Sahabat. Itu berarti beliau memandang tambahan doa dan bacaan surah itu tidak keluar dari batas-batas yang telah ditentukan oleh syari’at. Bila ijtihad dan amalan para sahabat itu melanggar dan merubah hukum-hukum yang telah ditentukan oleh syari’at, pasti akan ditegur dan dilarang oleh Rasulullah SAW.
Kalau dipahami dari segi bahasa, Bid’ah adalah apa saja yang tidak diperintah atau dicontohkan oleh Rasulullah SAW. Akan tetapi kenyataannya Rasulullah SAW membenarkan dan meridhoi banyak amalan atas inisiatif para sahabat tanpa diperintah dicontohkan oleh beliau. Maka kenyataan ini menyimpulkan bahwa Bid’ah yang sesat itu adalah Bid’ah dalam tanda kutip, yaitu Bid’ah yang bertentangan dengan al-Qur’an dan Hadits, bukan semua hal baru yang tidak dicontohkan oleh Rasululah SAW. Selebihnya, selama niatnya baik dan caranya tidak melanggar, siapapun akan mendapat jawaban dari Hadits..
اِنَّمَا الأَعْمَالُ بِالْنِّيَّاتِ وَاِنَّمَا لِكُلِّ امْرِئٍ مَا نَوَى, فَمَنْ كَانَتْ هجْرَتُهُ الَى اللهِ وَرَسُوْلِهِ فَهِجْرَتُهُ اِلى اللهِ وَرَسُوْلِهِ                       
‘Sesungguhnya segala perbuatan tergantung kepada niat, dan setiap manusia akan mendapat sekadar apa yang diniatkan, siapa yang hijrahnya (tujuannya) karena Allah  dan Rasul-Nya, hijrahnya itu adalah karena Allah dan Rasul-Nya (berhasil)’. (HR. al-Bukhari).

Begitulah pemikiran ulama salaf. Tetapi fitnah adalah sunnatullah. Nampaknya dalam hidup ini memang harus ada fitnah sebagai ujian, untuk memastikan bahwa ada orang sabar yang bijak dan ada pula orang ceroboh yang berpikiran  sempit. Dari itu, tidak heran kalau ada saja orang yang berani menjelek-jelekkan ulama salaf dengan berkata bahwa ulama salaf yang membagi bid’ah menjadi beberapa jenis itu telah membuka lebar pintu-pintu “Bid’ah sesat” bagi kaum muslimin. Na’udzu billah, kita berlindung kepada Allah dari tindakan ceroboh dan tidak hormat pada ulama salaf.


[1]       Shahih al-Bukhari, II : 284.
[2]       Ibnu Hajar al-Asqalani, Fath al-Bari, II : 287.
[3]     Ibnu Hajar al-Asqalani, Fath al-Bari, VIII : 313.
[4]       Hadits Shahih Riwayat al-Bukhari, Muslim dan Ahmad bin Hanbal.
[5]       Ibnu Hajar al-Asqalani, Fath al-Baari, III : 276.
[6]       Shahih Muslim, I : 419.
[7]       KH. Ali Badri Azmatkhan, Klarifikasi masalah Khilafiyah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar