Sesuatu
yang tidak dikerjakan Nabi bukan berarti dilarang
بسم
الله الرحمن الرحيم
Ada beberapa pendekatan yang
dilakukan oleh para ulama dalam mendefinisikan bid’ah. Perbedaan cara
pendekatan para ulama disebabkan, apakah kata bid’ah selalu dikonotasikan
dengan kesesatan, atau tergantung dari tercakup dan tidaknya dalam ajaran
Islam. Hal ini disebabkan arti bid’ah secara bahasa adalah : sesuatu yang
asing, tidak dikenal pada zaman Rasulullah SAW. Sehingga inti pengertian bid’ah
yang sesat secara sederhana adalah: segala bentuk perbuatan atau keyakinan yang
bukan bagian dari ajaran Islam, dikesankan seolah-olah bagian dari ajaran
Islam, seperti membaca ayat-ayat al-Qur’an disertai alat-alat musik yang
diharamkan, keyakinan/faham kaum Mu’tazilah, Qodariyah, Syi’ah, termasuk pula
paham-paham Liberal yang marak akhir-akhir ini,
Alhasil, menurut Imam ‘Izzuddin, “Segala
kegiatan keagamaan yang tidak ditemukan pada zaman Rasulullah SAW, hukumnya
bergantung pada tercakupnya dalam salah satu kaidah hukum Islam, haram, makruh,
wajib, sunnah, atau mubah. Sebagai contoh, belajar ilmu nahwu untuk menunjang
dalam belajar ilmu syariat yang wajib, maka hukum belajar ilmu nahwu menjadi
wajib.”
Penjelasan tentang bid’ah
bisa kita ketahui dari dalil-dalil berikut :
Hadits riwayat sayyidatina
A’isyah :
عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهَا
قَالَتْ أَنَّ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: مَنْ عَمِلَ عَمَلاً
لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا فَهُوَ رَدٌّ. رواه مسلم
Dari ‘Aisyah RA. Ia berkata: "Sesungguhnya
Rasulullah SAW bersabda: Barangsiapa yang melakukan suatu perbuatan yang tiada
perintah kami atasnya, maka amal itu ditolak.” HR.Muslim.
Hadits ini sering dijadikan
dalil untuk melarang semua bentuk perbuatan yang tidak pernah dilaksanakan pada
masa Nabi SAW. Padahal maksud yang sebenarnya bukanlah seperti itu. Para ulama
menyatakan bahwa hadits ini sebagai larangan dalam membuat-buat hukum baru yang
tidak pernah dijelaskan dalam al-Qur’an ataupun Hadits, baik secara eksplisit
(jelas) atau implisit (isyarat), kemudian diyakini sebagai suatu ibadah murni
kepada Allah SWT sebagai bagian dari ajaran agama. Oleh karena itu, ulama
membuat beberapa kriteria dalam permasalahan bid’ah ini, yaitu :
Pertama, jika perbuatan itu
memiliki dasar dalil-dalil syar’i yang kuat, baik yang parsial (juz’i) atau
umum, maka bukan tergolong bid’ah. Namun jika tidak ada dalil yang dapat dibuat
sandaran, maka itulah bid’ah yang dilarang.
Kedua, memperhatikan pada
ajaran ulama salaf (ulama pada abad l, ll dan lll H.). Apabila sudah diajarkan
oleh mereka, atau memiliki landasan yang kuat dari ajaran kaidah yang mereka
buat, maka perbuatan itu bukan tergolong bid’ah.
Ketiga, dengan jalan qiyas.
Yakni, mengukur perbuatan tersebut dengan beberapa amaliyah yang telah ada hukumnya
dari nash al-Qur’an dan Hadits. Apabila identik dengan perbuatan haram, maka
perbuatan baru itu tergolong bid’ah muharromah. Apabila memiliki kemiripan
dengan yang wajib, maka perbuatan baru itu tergolong wajib. Dan begitu
seterusnya.
2. Hadits riwayat Ibn Mas’ud
:
عَنْ عَبْدِ اللهِ ابْنِ مَسْعُوْدٍ,
أَنَّ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: أَلاَ وَإِيَّاكُمْ وَمُحْدَثَاتِ
الأُمُورِ فَإِنَّ شَرَّ الأُمُورِ مُحْدَثَاتُهَا وَكُلُّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ وَكُلُّ
بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ. رواه ابن ماجه
“Dari ‘Abdullah bin Mas’ud.
Sesungguhnya Rasulullah SAW bersabda: “ Ingatlah, berhati-hatilah kalian,
jangan sampai membuat hal-hal baru. Karena perkara yang paling jelek adalah
membuat hal baru . dan setiap perbuatan yang baru itu adalah bid’ah. Dan semua
bid’ah itu sesat.” HR. Ibnu Majah.
Hadits inipun sering
dijadikan dasar dalam memvonis bid’ah segala perkara baru yang tidak ada pada
zaman Rasulullah SAW, para sahabat atau tabi’in dengan pertimbangan bahwa
hadits ini menggunakan kalimat kullu (semua), yang secara tekstual
seolah-olah diartikan semuanya atau seluruhnya.
Namun, dalam menanggapi
makna hadits ini, khususnya pada kalimat وَكُلُّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ,
terdapat perbedaan pandangan pandangan di kalangan ulama’.
Pertama, ulama’
memandang hadits ini adalah kalimat umum namun dikhususkan hanya pada sebagian
saja (عام مخصوص البعض ), sehingga makna dari hadits ini
adalah “bid’ah yang buruk itu sesat” . Hal ini didasarkan pada
kalimat kullu, karena pada hakikatnya tidak
semua kullu berarti seluruh atau semua, adakalanya berarti kebanyakan
(sebagian besar). Sebagaimana contoh-contoh berikut :
Al-Qu’an surat Al-Anbiya’ ;
30 :
وَجَعَلْنَا مِنَ الْمَاءِ كُلَّ
شَيْءٍ حَيٍّ أَفَلَا يُؤْمِنُونَ
“Dan dari air kami jadikan
segala sesuatu yang hidup. Maka mengapakah mereka tiada juga beriman?” QS.
Al-Anbiya’:30.
Meskipun ayat ini
menggunakan kalimat kullu, namun tidak berarti semua makhluk hidup
diciptakan dari air. Sebagaimana disebutkan dalam ayat al-Qur’an berikut ini:
وَخَلَقَ الْجَانَّ مِنْ مَارِجٍ
مِنْ نَارٍ
“Dan Allah SWT menciptakan
Jin dari percikan api yang menyala”. QS. Ar-Rahman:15.
Begitu juga para malaikat,
tidaklah Allah ciptakan dari air.
Hadits riwayat Imam Ahmad :
عَنِ الْأَشْعَرِيِّ قَالَ قَالَ
رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كُلُّ عَيْنٍ زَانِيَةٌ
Dari al-Asyari berkata: “
Rasulullah SAW bersabda: “ setiap mata berzina” (musnad Imam Ahmad)
Sekalipun hadits di atas
menggunakan kata kullu, namun bukan bermakna keseluruhan/semua, akan
tetapi bermakna sebagian, yaitu mata yang melihat kepada ajnabiyah.
Kedua, ulama’
menetapkan sifat umum dalam kalimat kullu, namun mengarahkan pengertian
bid’ah secara syar’iyah yaitu perkara baru yang tidak didapatkan di masa
Rasulullah SAW, dan tidak ada sandarannya sama sekali dalam usul hukum syariat.
Telah kita ketahui bahwa perkara yang bertentangan dengan syariat baik secara
umum atau isi yang terkandung di dalamnya, maka haram dan sesat. Dengan
demikian, makna hadits di atas adalah setiap perkara baru yang
bertentangan dengan syariat adalah sesat, bukan berarti semua perkara baru
adalah sesat walaupun tidak bertentangan dengan syai’at.
Oleh karena itu, jelas
sekali bahwa bukan semua yang tidak dilakukan di zaman Nabi adalah sesat.
Terbukti, para sahabat juga melaksanakan atau mengadakan perbuatan yang tidak
ada pada masa Rasulullah SAW. Misalnya, usaha menghimpun dan membukukan
al-Qur’an, menyatukan jama’ah tarawih di masjid, adzan Jum’ah dua kali dan
lain-lain. Sehingga, apabila kalimat kullu di atas diartikan
keseluruhan, yang berarti semua hal-hal yang baru tersebut sesat dan dosa.
Berarti para sahabat telah melakukan kesesatan dan perbuatan dosa secara kolektif
(bersama). Padahal, sejarah telah membuktikan bahwa mereka adalah orang-orang
pilihan yang tidak diragukan lagi keimanan dan ketaqwaannya. Bahkan diantara
mereka sudah dijamin sebagai penghuni surga. Oleh karena itu, sungguh tidak
dapat diterima akal, kalau para sahabat Nabi SAW yang begitu agung dan begitu
luas pengetahuannya tentang al-Qur’an dan Hadits tidak mengetahuinya, apalagi
tidak mengindahkan larangan Rasulullah SAW
Tidak ada komentar:
Posting Komentar