ATSARUSSUJUD BUKAN JIDAT HITAM
Ayat
yang terkait masalah atsar sujud adalah firman Allah ta’ala : “Muhammad
itu adalah utusan Allah dan orang-orang yang bersama dengan Dia adalah keras
terhadap orang-orang kafir, tetapi berkasih sayang sesama mereka. kamu Lihat
mereka ruku’ dan sujud mencari karunia Allah dan keridhaan-Nya, tanda-tanda
mereka tampak pada muka mereka dari atsarussujud (bekas
sujud).” (QS. al Fath:29).
Penjelasan mufassirin (ulama tafsir
) tentang makna bekas sujud.
Bagaimanakah
penafsiran para ulama mengenai makna atsarussujud (bekas
sujud) dalam ayat diatas ?
Jawabanya : Dalam kitab-kitab tafsir
mu’tabarah (yang terkenal) tidak ada satupun yang mengkaitkan makna atsarussujud dengan
hitamnya dahi. Berikut ini diantaranya :
- Tafsir Al-Qurthubi (16/291)
: Disebutkan dalam tafsir tersebut bahwa Ibnu Abbas dan Mujahid menafsirkan
kata atsarussujud (bekas sujud) sebagai : khusyu’ dan tawadlu’.
–Tafsir Fathul Qadir (5/
55) : juga memaknai dengan arti yang sama.
- Jami’ al-Bayan (26/
141) : sang penulis kitab ini -Ibn Jarir al-Thabari - mengutip perkataan
Muqatil bin Hayyan dan Ali bin Mubarak dari al-Hasan bahwa yang dimaksud “min
atsari sujud” disana adalah cahaya yang tampak pada wajah orang-orang
beriman pada Hari Kiamat kelak sebagai bekas shalat dan wudlu’nya. Bahkan di dalam
Tafsirnya tersebut, Ibn Jarir juga mengutip perkataan sahabat Ibn Abbas yang
menolak penafsiran ayat secara literal dengan kata-kata : “Hal itu bukanlah
seperti yang kalian kira, karena maksudnya (dari kalimat min atsari
sujud) adalah tanda-tanda ke-islaman (ketundukan dan kepasarahan) serta
kekhusyu’an.”
- Thabari juga meriwayatkan dengan
sanad hasan dari Qatadah, beliau berkata, “Ciri mereka adalah shalat”
(Tafsir Mukhtashar Shahih hal 546).
- Tafsir Zâdul Mâsir (7/ 172) : Ibn
Jauzi mengatakan, “Apakah tanda-tanda itu (bekas sujud) itu merupakan
tanda-tanda di dunia atau di akhirat?” Dari banyak mufassir yang
mengatakan bahwa tanda-tanda itu tampak di dunia ini hanya sedikit saja
penafsir yang mengatakan bahwa tanda sujud itu tampak karena adanya bekas
turbah (tanah) yang melekat di kening mereka. Itu pun penfasiran alternatif
bukan satu-satunya penafsiran yang mereka yakini. Lagi pula jika penafsiran
seperti itu menjadi argumen mereka, maka hal itu justru akan menjadi muskilah,
karena kaum yang sujud di atas tanah pada masa ini hanyalah kalangan
Syi’ah saja, sementara kaum Muslim Sunni tidak lagi sujud di atas tanah,
tetapi di atas kain sajadah atau yang semacamnya. Dan penafsiran ini pun tidak
bisa menjadi dalil bagi kaum Khawarij, karena bekas sujud yang ada dikening
mereka bukanlah bekas tanah, tetapi karena kulit yang baal (tebal)
karena ditekan secara paksa. Kita sudah banyak mengetahui bahwa banyak ulama
yang rajin melakukan shalat malam tetapi kening mereka tidak hitam seperti yang
ada pada kening kaum Khawarij dan pengikutnya.
- Demikian juga Allamah Thabathaba’i
di dalam Tafsir al-Mizan-nya, Juz 18, halaman 326, menafsirkan ayat tersebut
dengan penafsiran maknawi bukan zhahiri.
- Dan terakhir, Tafsir Al-Nur
al-Tsaqalayn, menafsirkan kalimat min atsari sujud pada ayat
tersebut dengan mengutip perkataan al-Shadiq : “huwa al-sahr fi al-shalah”
: itu (bekas sujud) adalah banyaknya shalat malam pada waktu sebelum
fajar/subuh.
Hadits yang menyebutkan bekas sujud
Selain ayat diatas, adapula hadits
Rasulullah n yang terkait tentang masalah ini, berikut haditsnya :
Rasulullah n bersabda : “Tak satu orangpun di antara umatku
yang tidak kukenali pada Hari Kiamat. Mereka (para sahabat) bertanya,
“Bagaimana engkau dapat mengetahuinya wahai Rasulullah, sedangkan engkau berada
di tengah-tengah banyaknya makhluk? Beliau bersabda: “Apakah kalian dapat
mengetahui sekiranya kalian memasuki tumpukan makanan yang di dalamnya terdapat
sekumpulan kuda berwarna hitam pekat yang tidak dapat tertutup oleh warna lain,
dan di dalamnya terdapat pula kuda putih bersih, dapatkah kalian dapat
melihatnya? Mereka berkata: “Tentu!” Beliau bersabda : “Sesungguhnya umatku
pada hari itu berwajah putih bersih karena (bekas) sujud dan karena (bekas)
wudlu’.”[1]
Lantas bagaimanakah penjelasan para
muhaditsin mengenai maknanya ? Justru Hadis ini dijadikan dalil bahwa
tanda (sima) dari bekas sujud, bukanlah apa yang Nampak di dunia ini, tetapi
hanya tampak pada hari Kiamat.
Namun adapula sebagian yang memaknai
bekas sujud pada ayat dan hadits diatas dengan makna dhahir yakni bekas tanah
di dahi, seperti yang dikatakan Malik bin Dinar dari shahabat Ikrimah a.[2]
Sikap para ulama terhadap bekas
hitam di dahi
Meskipun
mayoritas ulama berpendapat bahwa bekas sujud tidak ada kaitannya dengan tanda
hitam di dahi. Namun, mereka berbeda pendapat tentang kondisi seseorang
yang ada bekas hitam di dahi, sebahagiannya tidak mempermasalahkan
sedangkan yang lainnya membenci hal tersebut.[3]
Ulama
yang membencinya
Para ulama yang tidak menyukai
adanya bekas hitam di dahi diantaranya bahkan dari kalangan shahabat nabi,
diantaranya adalah Ibnu Umar, Abu Darda, Saib bin Yazid dll.
1. Ibnu
Umar beliau adalah Abdullah bin Umar bin Khattab h, salah seorang shahabat terkemuka. Diriwayatkan beberapa
riwayat dari Ibnu Umar, beliau membenci adanya bekas hitam di dahi seorang
muslim. Berikut diantara riwayat-riwayatnya :
- Dari
Salim Abu Nadhr, ada seorang yang datang menemui Ibnu Umarh . Setelah orang tersebut mengucapkan salam, Ibnu Umar
bertanya kepadanya, “Siapakah anda?”,, “Aku adalah anak asuhmu” jawab orang tersebut. Ibnu Umar melihat ada bekas berwarna
hitam di antara kedua matanya. Beliau berkata kepadanya, “Bekas apa yang ada di
antara kedua matamu? Sungguh aku telah lama bershahabat dengan Rasulullah, Abu
Bakar, Umar dan Utsman. Apakah kau lihat ada bekas tersebut pada dahiku?” (HR.
Baihaqi : 3698)
- Beliau
melihat ada seorang yang pada dahinya terdapat bekas sujud. Ibnu Umar berkata,
“Wahai hamba Allah, sesungguhnya penampilan seseorang itu terletak pada
wajahnya. Janganlah kau jelekkan penampilanmu!” (HR. Baihaqi : 3699).
- Ibnu
‘Umar berkata : “Sesungguhnya rupa seorang itu ada di wajahnya. Maka, janganlah
salah seorang di antara kalian memburukkan rupanya” (HR. Abi Syaibah 1/308).
2. Abu
Darda a, diriwayatkan bahwa beliau melihat seorang perempuan yang
pada wajahnya terdapat ‘kapal’ semisal yang ada pada seekor kambing. Beliau
lantas berkata, ‘Seandainya bekas itu tidak ada pada dirimu tentu lebih baik”
(HR. Bahaqi : 3700).
3. As
Saib bin Yazid, a,, ,,,,,,,Dari Humaid bin Abdirrahman, aku berada di dekat as Saib
bin Yazid ketika seorang yang bernama az Zubair bin Suhail datang. Melihat
kedatangannya, as Saib berkata, “Sungguh dia telah merusak wajahnya. Demi Allah
bekas di dahi itu bukanlah bekas sujud. Demi Allah, aku telah shalat dengan
menggunakan wajahku ini selama sekian waktu lamanya namun sujud tidaklah
memberi bekas sedikitpun pada wajahku.” (HR. Baihaqi : 3701).
4. Mujahid t,,, ,,dari Manshur, Aku bertanya kepada Mujahid tentang maksud
dari firman Allah, ‘tanda-tanda mereka tampak pada muka mereka dari bekas
sujud’ apakah yang dimaksudkan adalah bekas di wajah ? Jawaban beliau, “Bukan, bahkan ada orang yang ‘kapal’ yang
ada di antara kedua matanya itu bagaikan ‘kapal’ yang ada pada lutut onta namun
dia adalah orang bejat. Tanda yang dimaksudkan adalah kekhusyu’an.” (HR. Baihaqi:
3702).
5. Ahmad
ash Showi t ia mengatakan, “Bukanlah yang dimaksudkan oleh ayat
adalah sebagaimana perbuatan orang-orang bodoh dan tukang riya’ yaitu tanda
hitam yang ada di dahi karena hal itu adalah ciri khas khawarij (ahli bid’ah).”
(Hasyiah ash Shawi, 4/134).
Ulama yang membolehkannnya
Sebagian ulama memandang bahwa ada
bekas sujud di dahi bukanlah hal yang di benci, selama bukan untuk maksud
kesombongan atau riya. Bahkan beberapa riwayat telah menyebutkan bahwa sebagian
ulama salaf memiliki bekas sujud di dahi mereka. Berikut diantara riwayatnya :
- Shafwaan bin ‘Amru,
ia berkata : “Aku pernah melihat dahi ‘Abdullah bin Busr[4] ada tanda/bekas sujud. ” ( At-Taariikh :
178; shahih).
- Al-‘Alaa’ bin
‘Abdil-Kariim Al-Ayaamiy, ia berkata : “Kami pernah mendatangi Murrah
Al-Hamdaaniy[5], lalu ia pun keluar menemui kami. Kami
melihat bekas sujud di dahinya, kedua telapak tangannya, kedua lututnya, dan
kedua kakinya….”( Al-Hilyah, 4/162; shahih).
- Bilaal bin
Muslim, ia berkata : “Aku melihat Abaan ‘Utsmaan, di antara kedua matanya
terdapat sedikit bekas sujud.”[6]
- Shafwaan bin ‘Amru ia
berkata : “Aku melihat di dahi Hakiim bin ‘Umair[7] ada bekas/tanda sujud” ( Al-Kubraa,
7/212; shahih). Kesimpulan :
Penutup :
Sesuatu
yang sangat keliru bila seseorang mengkaitkan hitamnya dahi dengan tingkat
keshalihan seseorang. Lebih keliru lagi bila sengaja seseorang menekan dahinya
untuk mendapatkan ‘ bekas sujud’ pada dahinya. Karena nyatanya, mayoritas ulama
tidak memaknai bekas sujud dengan hitamnya dahi.
Bahkan
lebih selamatnya munculnya hitam di dahi karena efek sujud hendaknya
dihindari karena sangat mungkin bisa memunculkan sikap riya diri kita
dihadapan manusia. Hal ini bisa dilakukan dengan menghindari sebab-sebab yang
bisa memberikan bekas pada sujud, seperti melazimi sujud ditempat yang keras.
Rasulullah n mengingatkan : “Tidak akan masuk sorga orang yang dalam hatinya
terdapat kesombongan meskipun seberat biji atom.” (HR. Muslim).
Namun sebaliknya, juga adalah sikap
yang salah jika seseorang mengedepankan su’udhdhan, bahkan sampai
terlontar kata-kata, bahwa orang yang mempunyai bekas/tanda hitam di dahinya
merupakan orang yang tidak ikhlash dalam beramal, ingin dipuji dll. Apakah ada
nash dari Allah dan Rasul-Nya bahwasannya tanda hitam di dahi merupakan tanda
kemunafikan lagi ketidak -ikhlashan ? Karena boleh jadi adanya bekas sujud
dikening tersebut memang faktor tipisnya kulit atau sebab-sebab lainnya.
Ingatlah wahai saudaraku firman Allah ta’ala : “Wahai orang-orang yang
beriman, jauhilah kebanyakan dari prasangka, sesungguhnya sebagian prasangka
itu adalah dosa.” (QS. Al-Hujuraat : 12).
“Ya,
Allah! Sesungguhnya kami berlindung kepada-Mu dari perbuatan syirik yang kami
ketahui. Dan kami memohon ampunan kepada-Mu dari dosa (syirik) yang kami tidak
mengetahuinya.”
Wallahu a’lam.
[1] Hadis ini diriwayatkan oleh
Ahmad bin Hanbal dengan sanad yang sahih; Tirmidzi juga meriwayatkan hadis ini,
dengan komentar : shahih).
[3] Ibnu Abi Syaibah bahkan
membuat dua bab dalam kitab Al-Mushannaf yang
memuat ulama-ulama yang membenci dan membolehkan tanda hitam di wajah.
[6] Diriwayatkan oleh Ibnu Sa’d dalam Al-Kubraa,
5/78; namun sanadnyadha’if karena Bilaal bin Abi Muslim, seorang
yang majhuul].
[7] Al-Hakiim
bin ‘Umair Al-Ahwash Al-‘Ansiy adalah seorang ulama
generasitaabi’iin pertengahan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar