APA ITU HADITS
SHAHIH, HASAN DAN DHAIF ?
I.I. Hadits
Shahih
kata Shahih
((الصحيح dalam bahasa
diartikan sehat lawan dari kata as-saqimالسقيم= orang yang sakit ). Jadi yang
dimaksud hadits shahih adalah hadits yang sehat dan benar tidak terdapat
penyakit dan cacat. ((
Imam
Al-Suyuti mendifinisikan hadits shahih dengan “hadits yang bersambung sanadnya,
dfiriwayatkan oleh perowi yang adil dan dhobit (kuat hafalan), tidak syadz
(asing) dan tidak ber’ilat”( cacat).
Defisi
hadits shahih secara konkrit baru muncul setelah Imam Syafi’i memberikan
penjelasan tentang riwayat yang dapat dijadikan hujah, yaitu:
pertama,
apabila diriwayatkan oleh para perowi yang dapat dipercaya pengamalan agamanya,
dikenal sebagai orang yang jujur mermahami hadits yang diriwayatkan dengan
baik, mengetahui perubahan arti hadits bila terjadi perubahan lafadnya; mampu
meriwayatkan hadits secara lafad, terpelihara hafalannya bila meriwayatkan
hadits secara lafad, bunyi hadits yang Dia riwayatkan sama dengan hadits yang
diriwayatkan orang lain dan terlepas dari tadlis (penyembuyian
cacat),
kedua,
rangkaian riwayatnya bersambung sampai kepada Nabi SAW atau dapat juga tidak
sampai kepada Nabi.
Imam Bukhori
dan Imam Muslim membuat kriteria hadits shahih sebagai berikut:
1)
Rangkaian perawi dalam sanad itu harus bersambung mulai dari perowi pertama
sampai perowi terakhir.
2)
Para perowinya harus terdiri dari orang-orang yang
dikenal siqat, dalam arti adil dan dhobith,
3)
Haditsnya terhindar dari ‘ilat (cacat) dan syadz (janggal),
dan
4)
Para perowi yang terdekat dalam sanad harus sejaman.
I.2.
Pembagian Hadits Shahih
Para ahli
hadits membagi hadits shahih kepada dua bagian, yaitu
shahih li-dzati dan shahih li-ghorihih. perbedaan antara
keduanya terletak pada segi hafalan atau ingatan perowinya. pada
shahih li-dzatih, ingatan perowinya sempurna, sedang pada hadits
shahih li-ghorihih, ingatan perowinya kurang sempurna.
a.Hadits Shahih
li dzati
Yaitu hadits
yang syarat-syarat hadits shahih tersebut benar-benar telah terbukti adanya.
b.Hadits
Shahih li gharihi
Hadits shahih
li-gharihih, adalah hadits hasan li-dzatihi apabila diriwayatkan
melalui jalan yang lain oleh perowi yang sama kualitasnya atau yang lebih kuat
dari padanya.
I.3.
Kehujahan Hadits Shahih
Hadits yang
telah memenuhi persyaratan hadits shahih wajib diamalkan sebagai hujah atau
dalil syara’sesuai ijma’ para uluma hadits dan sebagian ulama
ushul dan fikih. Kesepakatan ini terjadi dalam soal-soal yang berkaitan dengan
penetapan halal atau haramnya sesuatu, tidak dalam hal-hal yang berhubungan
dengan aqidah.
I.4.
Tingkatan Hadits Shahih
Perlu
diketahui bahwa martabat hadits shahih itu tergantung tinggi dan rendahnya
ke-dhabit-an dan keadilan para perowinya. Berdasarkan martabat seperti ini,
para muhaditsin membagi tingkatan sanad menjadi tiga yaitu:
Pertama, ashah
al-asanid yaitu rangkaian sanad yang paling tinggi derajatnya. seperti
periwayatan sanad dari Imam Malik bin Anas dari Nafi’ mawla (mawla = budak yang
telah dimerdekakan) dari Ibnu Umar.
Kedua, ahsan
al-asanid, yaitu rangkaian sanad hadits yang yang tingkatannya dibawash tingkat
pertama diatas. Seperti periwayatan sanad dari Hammad bin Salamah dari Tsabit
dari Anas.
Ketiga. ad’af
al-asanid, yaitu rangkaian sanad hadits yang tingkatannya lebih rendah dari
tingkatan kedua. seperti periwayatan Suhail bin Abu Shalih dari ayahnya dari
Abu Hurairah.
Dari segi
persyaratan shahih yang terpenuhi dapat dibagi menjadi tujuh tingkatan, yang
secara berurutan sebagai berikut:
a)
Hadits yang disepakati oleh bukhari dan muslim (muttafaq ‘alaih),
b)
Hadits yang diriwayatkan oleh Imam Bukhori saja,
c)
Hadits yang diriwayatkan oleh Imam Muslim saja,
d)
Hadits yang diriwayatkan orang lain memenuhi persyaratan AL-Bukhari dan Muslim,
e)
Hadits yang diriwayatkan orang lain memenuhi persyaratan Al-Bukhari saja,
f)
Hadits yang diriwayatkan orang lain memenuhi persyaratan Muslim saja,
g)
Hadits yang dinilai shahih menurut ilama hadits selain Al-Bukhari dan Muslim
dan tidak mengikuti persyratan keduanya, seperti Ibnu Khuzaimah, Ibnu Hibban,
dan lain-lain.
II. HADITS
HASAN
Secara
bahasa, hasan berarti al-jamal, yaitu indah. Hasan juga dapat juga berarti
sesuatu sesuatu yang disenangi dan dicondongi oleh nafsu. Sedangkan para ulama
berbeda pendapat dalam mendefinisikan hadits hasan karena melihat bahwa ia
meupakan pertengahan antara hadits shahih dan hadits dha’if,dan juga karena
sebagian ulama mendefinisikan sebagai salah satu bagiannya.
1. definisi
Tirmidzi: yaitu semua hadits yang diriwayatkan, dimana dalam sanadnya tidak ada
yang dituduh berdusta, serta tidak ada syadz (kejangalan), dan
diriwatkan dari selain jalan sepereti demikian, maka dia menurut kami adalah
hadits hasan.
definisi
Ibnu Hajar: beliau berkata, adalah hadits ahad yang diriwayatkan oleh yang
adil, sempurna ke-dhabit-annya, bersanbung sanadnya, tidak cacat, dan
tidak syadz (janggal) maka dia adalah hadits shahih li-dzatihi,
lalu jika ringan ke-dhabit-annya maka dia adalah hadits hasanli dszatihi.
Kriteria
hadits hasan sama dengan kriteria hadits shahih. Perbedaannya hanya terletak
pada sisi ke-dhabit-annya. yaitu hadits shahih lebih sempurna ke-dhabit-annya
dibandingkan dengan haditshasan. Tetapi jika dibandingkan dengan ke-dhabit-an
perawi hadits dha’if tentu belum seimbang, ke-dhabit-an perawi
hadits hasan lebih unggul.
II.1.
Macam-Macam Hadits Hasan
Sebagaimana
hadits shahih yang terbagi menjadi dua macam, hadits hasasn pun terbagi menjadi
dua macam, yaitu hasan li-dzatih dan hasan li-ghairih;
a.
Hasan Li-Dzatih
Hadits
hasan li-dzatih adalah hadits yang telah memenuhi persyaratan hadits
hasan yang telah ditentukan. pengertian hadits hasan li-dzatih
b.
Hasan Li-Ghairih
Hadits hasan
yang tidak memenuhi persyaratan secara sempurna. dengan kata lain, hadits
tersebut pada dasarnya adalah hadits dha’if, akan tetapi karena adanya
sanad atau matan lain yang menguatkannya (syahid atau muttabi’), maka
kedudukan hadits dha’if tersebut naik derajatnya menjadi hadits
hasan li-ghairih.
II.2.
Kehujahan Hadits Hasan
Hadits hasan
sebagai mana halnya hadits shahih, meskipun derajatnya dibawah hadits shahih,
adalah hadits yang dapat diterima dan dipergunakan sebagai dalil atau hujjah
dalam menetapkan suatu hukum atau dalam beramal. Para ulama hadits, ulama ushul
fiqih, dan fuqaha sepakat tentang kehujjahan hadits hasan.
III. HADITST
DHAIF
Pengertian
hadits dhaif Secara bahasa, hadits dhaif berarti hadits yang lemah. Para ulama
memiliki dugaan kecil bahwa hadits tersebut berasal dari Rasulullah SAW. Dugaan
kuat mereka hadits tersebut tidak berasal dari Rasulullah SAW. Adapun para
ulama memberikan batasan bagi hadits dhaif sebagai berikut : “ Hadits dhaif
ialah hadits yang tidak memuat / menghimpun sifat-sifat hadits shahih, dan
tidak pula menghimpun sifat-sifat hadits hasan”.
III.1.
Macam-macam hadits dhaif
Haditst
dhaif dapat dibagi menjadi dua kelompok besar, yaitu : hadits dhaif karena
gugurnya rawi dalam sanadnya, dan hadits dhaif karena adanya cacat pada rawi
atau matan.
a. Hadits
dhaif karena gugurnya rawi
Yang
dimaksud dengan gugurnya rawi adalah tidak adanya satu atau beberapa rawi, yang
seharusnya ada dalam suatu sanad, baik pada permulaan sanad, maupun pada
pertengahan atau akhirnya. Ada beberapa nama bagi hadits dhaif yang disebabkan
karena gugurnya rawi, antara lain yaitu :
1)
Hadits Mursal
Hadits
mursal menurut bahasa, berarti hadits yang terlepas. Para ulama memberikan
batasan bahwa hadits mursal adalah hadits yang gugur rawinya di akhir sanad,
yaitu rawi pada tingkatan sahabat yang merupakan orang pertama yang
meriwayatkan hadits dari Rasulullah SAW. Jadi, hadits mursal adalah hadits yang
dalam sanadnya tidak menyebutkan sahabat Nabi, sebagai rawi yang seharusnya
menerima langsung dari Rasulullah.
2)
Hadits Munqathi’
Hadits
munqathi’ menurut etimologi ialah hadits yang terputus. Para ulama memberi
batasan bahwa hadits munqathi’ adalah hadits yang gugur satu atau dua orang
rawi tanpa beriringan menjelang akhir sanadnya. Bila rawi di akhir sanad adalah
sahabat Nabi, maka rawi menjelang akhir sanad adalah tabi’in. Jadi, pada hadits
munqathi’ bukanlah rawi di tingkat sahabat yang gugur, tetapi minimal gugur
seorang tabi’in. Bila dua rawi yang gugur, maka kedua rawi tersebut tidak
beriringan, dan salah satu dari dua rawi yang gugur itu adalah tabi’in.
3)
Hadits Mu’dhal
Menurut
bahasa, hadits mu’dhal adalah hadits yang sulit dipahami. Batasan yang
diberikan para ulama bahwa hadits mu’dhal adalah hadits yang gugur dua orang
rawinya, atau lebih, secara beriringan dalam sanadnya.
4)
Hadits mu’allaq
Menurut
bahasa, hadits mu’allaq berarti hadits yang tergantung. Hadits ini ialah hadits
yang gugur satu rawi atau lebih di awal sanad atau bisa juga bila semua rawinya
digugurkan ( tidak disebutkan ).
b. Hadits
dhaif karena cacat pada matan atau rawi
Banyak macam
cacat yang dapat menimpa rawi ataupun matan. Seperti pendusta, fasiq, tidak
dikenal, dan berbuat bid’ah yang masing-masing dapat menghilangkan sifat adil
pada rawi. Sering keliru, banyak waham, hafalan yang buruk, atau lalai dalam
mengusahakan hafalannya, dan menyalahi rawi-rawi yang dipercaya. Ini dapat
menghilangkan sifat dhabith pada perawi. Adapun cacat pada matan, misalkan
terdapat sisipan di tengah-tengah lafadz hadits atau diputarbalikkan sehingga
memberi pengertian yang berbeda dari maksud lafadz yang sebenarnya.
Contoh-contoh
hadits dhaif karena cacat pada matan atau rawi :
1)
Hadits Maudhu’
Menurut
bahasa, hadits ini memiliki pengertian hadits palsu atau dibuat-buat. Para
ulama memberikan batasan bahwa hadits maudhu’ ialah hadits yang bukan berasal
dari Rasulullah SAW. Akan tetapi disandarkan kepada dirinya. Golongan-golongan
pembuat hadits palsu yakni musuh-musuh Islam dan tersebar pada abad-abad permulaan
sejarah umat Islam, yakni kaum yahudi dan nashrani, orang-orang munafik,
zindiq, atau sangat fanatik terhadap golongan politiknya, mazhabnya, atau
kebangsaannya .
Hadits
maudhu’ merupakan seburuk-buruk hadits dhaif. Peringatan Rasulullah SAW
terhadap orang yang berdusta dengan hadits dhaif serta menjadikan Rasul SAW
sebagai sandarannya. “Barangsiapa yang sengaja berdusta terhadap diriku,
maka hendaklah ia menduduki tempat duduknya dalam neraka”.
2)
Hadits matruk atau hadits mathruh
Hadits ini,
menurut bahasa berarti hadits yang ditinggalkan / dibuang. Hadits matruk adalah
hadits yang diriwayatkan oleh orang-orang yang pernah dituduh berdusta, atau
pernah melakukan maksiat, lalai, atau banyak wahamnya.
3)
Hadits Munkar
Haditst
munkar, secara bahasa berarti hadits yang diingkari atau tidak dikenal. Hadits
munkar ialah hadits yang diriwayatkan oleh rawi yang lemah dan menyalahi perawi
yang kuat.
4)
Hadits Mu’allal
Menurut
bahasa, hadits mu’allal berarti hadits yang terkena illat (cacat). Ialah hadits
yang mengandung sebab-sebab tersembunyi, dan illat yang menjatuhkan itu bisa
terdapat pada sanad, matan, ataupun keduanya.
5)
Hadits mudraj
Haditst ini
memiliki pengertian hadits yang dimasuki sisipan, yang sebenarnya bukan bagian
dari hadits itu.
6)
Hadits Maqlub
Menurut
bahasa, berarti hadits yang diputarbalikkan. Para ulama menerangkan bahwa
terjadi pemutarbalikkan pada matannya atau pada nama rawi dalam
7) Hadits
Syadz
Secara
bahasa, hadits ini berarti hadits ayng ganjil. Ialah hadits yang diriwayatkan
oleh rawi yang dipercaya, tapi hadits itu berlainan dengan hadits-hadits yang
diriwayatkan oleh sejumlah rawi yang juga dipercaya. Haditsnya mengandung
keganjilan dibandingkan dengan hadits-hadits lain yang kuat. Keganjilan itu
bisa pada sanad, pada matan, ataupun keduanya.
III.2.
Kehujahan dan Sikap Ulama Terhadap Hadits Dhaif
Sebenarnya
kalau kita mau jujur dan objektif, sikap ulama terhadap hadits dhaif itu sangat
beragam. Setidaknya kami mencatat ada tiga kelompok besar dengan pandangan dan
hujjah mereka masing-masing. Dan menariknya, mereka itu bukan orang
sembarangan. Semuanya adalah orang-orang besar dalam bidang ilmu hadits serta
para spesialis.
Maka posisi
kita bukan untuk menyalahkan atau menghina salah satu kelompok itu. Sebab dibandingkan
dengan mereka, kita ini bukan apa-apanya dalam konstalasi para ulama hadits.
1)
Kalangan Yang Menolak Mentah-mentah Hadits Dhaif
Bagi
pemegang kelompok ini hadits dhaif itu sama sekali tidak akan dipakai untuk apa
pun juga. Baik masalah keutamaan (fadhilah), kisah-kisah, nasehat atau
peringatan. Apalagi kalau sampai masalah hukum dan aqidah. Pendeknya, tidak ada
tempat buat hadits dhaif di hati mereka.
Di antara
mereka terdapat nama Al-Imam Al-Bukhari, Al-Imam Muslim, Abu Bakar Al-Arabi,
Yahya bin Mu’in, Ibnu Hazm dan lainnya. Di zaman sekarang ini, ada tokoh
seperti Al-Albani dan para pengikutnya.
2)
Kalangan Yang Menerima Semua Hadits Dhaif
Jangan
salah, ternyata ada juga kalangan ulama yang tetap menerima semua hadits dhaif.
Mereka adalah kalangan yang boleh dibilang mau menerima secara bulat setiap
hadits dhaif, asal bukan hadits palsu (maudhu’). Bagi mereka,
sedhai’f-dha’if-nya suatu hadits, tetap saja lebih tinggi derajatnya dari akal
manusia dan logika.
Di antara
para ulama yang sering disebut-sebut termasuk dalam kelompok ini antara lain
Al-Imam Ahmad bin Hanbal, pendiri mazhab Hanbali. Selain itu juga ada nama
Al-Imam Abu Daud, Ibnul Mahdi, Ibnul Mubarak dan yang lainnya.
Al-Imam
As-Suyuthi mengatakan bawa mereka berkata, ‘Bila kami meriwayatkan hadits
masalah halal dan haram, kami ketatkan. Tapi bila meriwayatkan masalah fadhilah
dan sejenisnya, kami longgarkan.”
3)
Kalangan Menengah
Mereka
adalah kalangan yang masih mau menerima sebagian dari hadits yang terbilang
dhaif dengan syarat-syarat tertentu. Yang berpendapat seperti ini adalah
kebanyakan ulama, para imam mazhab yang empat serta para ulama salaf dan khalaf
dan diikuti oleh jumhur kaum muslimin.
Syarat-syarat
yang mereka ajukan untuk menerima hadits dhaif antara lain, sebagaimana
diwakili oleh Al-Hafidz Ibnu Hajar dan juga Al-Imam
An-Nawawi rahimahumalah, adalah:
• Hadits
dhaif itu tidak terlalu parah kedhaifanya. Sedangkan hadits dha’if yang
perawinya sampai ke tingkat pendusta, atau tertuduh sebagai pendusta, atau parah
kerancuan hafalannya tetap tidak bisa diterima.
• Hadits itu
punya asal yang menaungi di bawahnya
• Hadits itu
hanya seputar masalah nasehat, kisah-kisah, atau anjuran amal tambahan. Bukan
dalam masalah aqidah dan sifat Allah, juga bukan masalah hukum.
• Ketika
mengamalkannya jangan disertai keyakinan atas tsubut-nya hadits itu, melainkan
hanya sekedar berhati-hati.
Wallahua’lam
Tidak ada komentar:
Posting Komentar