I’RAB “LAA ILAHA
ILLALLAH”
Mari kita mengi’rab kalimat iman yang agung, yaitu kalimat syahadat : Laa ilaha illallah,
لَا
إِلهَ حَقٌّ إِلَّا اللهُ
Pertama, (لا) = Laa nafiyatul
jinsi,menafikan semua jenis) beramalan inna yaitu memanshubkan isimnya dan
memarfu’kan khobarnya.
Kedua, , (إله), kata ilah merupakan
isim (kata benda) yang mengikuti pola kata fi’al (فعال). [1]manshub (berbaris atas) dengan adanya amil nawashib
(yaitu huruf Laa).[2]
Ketiga, (الاّ) adalah
huruf istisna. illa berfungsi mengitsbatkan kalimat
yang manfi. Dalam kaidah bahasa Arab, itsbat (kalimat
positif) sesudah nafi (kalimat negatif) itu mempunyai
maksud al-hashru (membatasi) dan taukid (menguatkan). Kedudukannya
sebagai khobar mubtada’ yang dibuang yang berubah menjadi khobarnya Laa
taqdirnya haqqun (yang benar). (penjelasannya setelah ini)
(ألله) keempat Lafadz jalalah “Allah”[3] sebagai badal (pengganti) dari khobar laa yang
dibuang. Karena sebagai badal, maka i’rob lafadz jalalah “Allah” adalah sesuai
dengan mubdal minhu (yang digantikan)nya yaitu khobar laa. Ingat, khobar laa
mempunyai i’rob marfu’, maka badalnya yakni lafadz jalalah “Allah” juga ikut
marfu’, yang mana lafadz jalalah “Allah” ini adalah isim mufrod (kata tunggal)
yang marfu’ dengan tanda dhommah sehingga berbunyi “Allahu”.
Jadi,
sebenarnya dari kalimat : Laa ilaha illallah, ada kata yang dibuang karena
maknanya sudah maklum, sehingga kalimat ‘Laa ilaha illallah ‘di baca
dengan mentakdirkan khobar laa yang dibuang dengan “haqqun” atau “bihaqqin“.
Sehingga menjadi :
لَا
إِلهَ حَقٌّ إِلَّا اللهُ
laa ilaaha
haqqun illallahu artinya : Tiada tuhan (yang benar) selain
Allah). Ini sesuai dengan firman Allahl dalam Al Qur’an :
ذَلِكَ
بِأَنَّ اللَّهَ هُوَ الْحَقُّ وَأَنََّ مَا يَدْعُونَ مِن دُونِهِ الْبَاطِلُ
وَأَنََّ اللَّهَ هُوَالْعَلِيُّ الْكَبِيرُ
“Demikianlah,
karena sesungguhnya Allah, Dialah yang haq, dan apa saja yang mereka seru
selain Allah adalah bathil. Dan sesungguhnya Allah, Dialah Yang Maha Tinggi
lagi Maha Besar.” (QS. Luqman: 30)
Mungkin
dalam benak kita timbul pertanyaan, mengapa khobar laa dibuang ? Jawabannya
adalah : Suatu kata boleh dibuang jika makna kalimat sudah dapat diketahui
secara pasti.
Kita ambil
contoh dalam bahasa indonesia saja agar lebih mudah dimengerti. Misalkan ada
orang yang bertanya, “Apa nama negaramu ?” Jawaban dari pertanyaan diatas
adalah : “Nama negara saya adalah Indonesia.” Tetapi bila kita menjawab dengan
jawaban : “Indonesia.” Atau dengan : Indonesia namanya.” Di sini tentu
sudah diketahui maksud dari jawaban yang meskipun telah di ringkas tersebut.
Suatu
kalimat yang ringkas tetapi dapat dipahami maknanya tentu lebih efisien daripada
kalimat yang panjang karena akan terkesan bertele-tele. Nah, demikian juga
dalam bahasa Arab. Maka khobar laa pada kalimat tauhid dibuang karena
orang-orang Arab pada zaman Rasulullah y sudah dapat memahami
maknanya, karena mereka adalah orang-orang yang fasih dalam bahasa Arab. Oleh
karena itu pulalah orang-orang musyrik Arab zaman dulu tidak mau mengucapkan
kalimat laa ilaaha illallah meskipun mereka mengakui bahwa
Allah l adalah rabb mereka, karena mereka paham akan makna dan
konsekuensi dari kalimat tauhid tersebut.
Secara
ringkas (untuk kita yang tidak menguasai ilmu nahwu – sharaf tentu tidak mudeng
dengan penjelasan diatas) dari kalimat Laa ilaha illaLlah kita hanya perlu
ketahui bahwa kalimat syahadat ini mengandung penafian (penolakan) dan pengitsbatan
(penetapan).
-Laa
ilaha = An-Nafyu, yaitu meniadakan dan meninggalkan segala
bentuk kesyirikan serta mengingkari segala sesuatu yang disembah selain Allah
Ta’ala.
-illallah = Al-Itsbat,
yaitu menetapkan bahwa tidak ada yang berhak disembah dan diibadahi melainkan
Allah serta beramal dengan landasan ini.
Banyak
ayat-ayat Al-Quran yang mencerminkan dan bersesuaian dengan makna ini.
Diantaranya adalah firman Allah Ta’ala: “Maka barangsiapa yang mengingkari
Thoghut (sesembahan selain Allah) dan beriman kepada Allah, maka sungguh dia
telah berpegang dengan tali yang sangat kuat (kalimat Laa ilaha
illallah).” (QS.Al-Baqarah:256).
“Mengingkari
Thoghut (sesembahan selain Allah”) adalah penafian
(penolakan)sementara “Beriman kepada Allah” adalah pengitsbatan
(penetapan).
Pemahaman
terhadap adanya penafian dan pengitsbatan dari kalimat syahadat tauhid adalah
sangat penting, karena jika tidak, kita bisa terjerumus ke dalam makna yang
salah. Yaitu misalnya memaknai ‘Laa ilaha illaLlah’ dengan : tiada tuhan kecuali
(dia juga) Allah. Jadi semua tuhan yang ada, tuhan orang Kristen, Yahudi,
Hindu, Budha dll. Semuanya dianggap juga adalah Allah. Ini adalah batil.
Wallahu
a’lam.
Referensi :
Tafsir Ibnu
Jarir.
Fathul Majid
Madarij
As-Salikin
At Tamhid
[1] Dan
dalam bahasa ِArab
pola fi’al terkadang bermakna fa’il (فاعل), yaitu pelaku perbuatan
dan terkadang juga bermakna maf’ul (مفول),
yaitu objek perbuatan. Dalam bahasa Arab kata إله diambil dari kata “alaha” yang
maknanya ‘abada (menyembah). Dalam konteks pembahasan kita,
makna ilah di sini mengikuti pola fi’al yang
bermakna maf’ul, sehingga
makna ilah adalah ma’bud (yang disembah). Hal ini semakna
dengan kata kitab(buku) yang bermakna maktub (sesuatu yang ditulisi).
(Lihat At Tamhid hal. 74).
[2] Asal
kata “ilaah” adalah dari kata alaha (أَلَهَ)
yang bersinonim dengan kata ‘abada (عَبَدَ)
yang artinya menyembah/beribadah,wazannya fa’ala-yaf’alu (فَعَلَ – يَفْعَلُ) sehingga tashrif
isthilahinya menjadi alaha-ya’lahu-ilaahan (أَلَهَ – يَعْلَهُ – إِلاهًا).
“Ilaah” adalah isim mashdar, yaitu kata yang menunjukkan atas suatu
makna yang tidak terikat oleh waktu, dan mashdar adalah asal
dari fi’il (kata kerja) dan asal dari semua isim
musytaq (kata jadian).[3] Isim mashdar terkadang dapat
bermakna fa’il (subjek/yang melakukan suatu perbuatan) dan dapat
bermakna maf’ul bih (objek/yang dikenai suatu perbuatan). Berikut ini
contoh suatu mashdar yang dapat bermakna fa’il dan dapat
bermakna maf’ul bih,
[3] Ibnu
Qoyyim dalam Madarij As-Salikin 1/18 berkata : “Nama “Allah”
menunjukkan bahwa Dialah yang merupakan ma’luh (yang disembah) ma’bud (yang
diibadahi). Seluruh makhluk beribadah kepadanya dengan penuh kecintaan,
pengagungan dan ketundukan…”.
Berkata Imam Az-Zamakhsyary : “Al-Ilah termasuk
nama-nama jenis seperti Ar-Rajul (seorang lelaki) dan Al
Faras (seekor kuda), penggunaan kata Al-Ilah pada segala yang
disembah yang hak maupun yang batil. Kemudian kata Al-Ilah itu umum
digunakan kepada yang disembah yang benar”. (Lihat : Fathul
Majid hal.53-54 cet. Darul Fikr)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar